Lihat Positifnya

Bermula dari rasa penasaran…ada apa dengan ODOJ sehingga menjadikannya topik hangat di dunia maya, saya kemudian secara sengaja tapi tanpa sadar (alias iseng saja) bergabung di sana. Sebelum  memutuskan bergabung, saya pikir ini komunitas biasa yang berisi ajakan tilawah sehari 1 juz. Tilawah 1 juz sehari pada saat itu adalah sebuah hal luar biasa mengingat kebiasaan saya hanya separoh juz saja sehari. Tapi, karena dilakukan tanpa sadar, saya tidak memikirkan kesulitannya toh nanti kalau tak sanggup saya bisa ungroup. Lalu dimulailah tarbiyah itu.

 

Tarbiyah paling awal adalah menumbuhkan kebiasaan ber-ODOJ. Di sini saya belajar lagi tentang manajemen waktu dan disiplin. Karena niat saya adalah istiqomah ber-ODOJ, maka saya harus sungguh-sungguh menerapkan kedua hal tsb. Tanpa manajemen waktu yang baik, meski hanya 1 jam, tilawah tidak akan selesai. Dan tanpa disiplin, maka kebiasaan baik yang baru tumbuh akan cepat luruh. Alhamdulillah, di ODOJ banyak saudara seperjuangan yang juga masih sama-sama belajar. Tak ada yang merasa paling hebat meskipun ternyata sebelumnya sudah rutin ber-ODOJ. Oh ya, di sini kami juga belajar utk selalu mengikhlaskan niat dan menekan rasa ujub dan riya’. Ini juga sebuah bentuk pembelajaran buatku. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa bergabung di ODOJ itu menimbulkan riya’ dan ujub, bisa jadi memang, tapi rasanya apapun amalan yang kita rasa baik bisa berpotensi memunculkan kedua rasa itu, tak hanya di ODOJ.

 

Bentuk-bentuk tarbiyah lainnya saya dapatkan ketika mendapat tugas sebagai PJH alias penanggung jawab harian. PJH bertugas memonitor tilawah grup dan memberikan semangat kepada sesama member. Untungnya, saat itu ada admin yang meringankan tugas itu dan membantu tugas PJH. Menjadi PJH membuat saya mendapatkan pengalaman manajerial. PJH harus selalu online untuk memperbarui laporan dan aktif mengingatkan member yang belum laporan. Di sini juga saya belajar berkorban, selain korban pulsa, juga berkorban waktu dan pikiran. Tidak masalah karena semua bisa diatasi insyaAllah.

 

Ternyata ODOJ lebih dari itu. Setelah bergabung lebih dari 1 tahun saya mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman. Setelah saya diberi amanah menjadi admin grup, pembelajaran baru pun dimulai. Mulai dari pelajaran tentang menjalin persaudaraan, berbaik sangka, berpikir positif, menumbuhkan dan membagikan semangat, bersabar, mengalah, berkorban, hingga kepemimpinan. Tugas sebagai admin tidaklah mudah dan menyita waktu. Jadi, saya harus pandai mengatur prioritas dengan tetap menyelesaikan semua kewajiban saya yang lain. Adakalanya saya ingin melepas amanah ini apalagi jika grup sedang dalam kondisi tidak baik misalnya karena tidak seluruhnya selesai 1 juz, member yang tiba-tiba menghilang, member yang acuh dengan grup, dsb. Kalau saja bukan karena diniatkan sebagai ladang amal, amanah ini akan saya tinggalkan. Saya tetap berada di posisi ini karena saya ingin ada yang bisa jadi pemberat amalan saya di akhirat nanti, juga karena saya merasa masih dibutuhkan. Tekad saya adalah menjadi orang terakhir yang ada di grup apapun kondisinya.

 

Salam ukhuwah,

 

 

Bukan Urusan Saya

Seorang teman mempublikasikan status yang menunjuk sebuah gambar. Di gambar itu dijajarkan 4 hasil pencarian di Google dengan kata kunci “bukan urusan saya” yang subjeknya adalah 4 selebriti termasuk presiden RI yang sekarang. Dan berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa hasil pencarian yang relevan dengan kata kunci ditemukan terbanyak pada subjek Pak Jokowi. Ini menunjukkan bahwa di antara keempat orang itu topik “bukan urusan saya” paling dekat dengan beliau. Tentu saja hasilnya bisa berbeda jika diterapkan ke orang yang berbeda.

Frase “bukan urusan saya” memang sedang naik daun. Yang menaikkannya ya pak Jokowi sendiri. Berawal ketika beliau menjabat sebagai Gubernur DKI hingga kini sebagai Presiden RI. Beberapa pernyataan memang tidak berbungi persis seperti itu, namun secara tersirat punya makna yang berdekatan (http://news.okezone.com/read/2014/12/05/337/1074939/seberapa-sering-jokowi-bilang-bukan-urusan-saya). Hahaha… ada-ada saja yang iseng menghitung frekuensinya.

Jika frase itu diucapkan oleh saya, maka efeknya tidak sedahsyat jika yang mengatakan adalah seorang presiden. Mengapa? Presiden itu pimpinan rakyat. Rakyat dapat mengacu, mengikuti, atau meniru sikap dan perilaku dari pemimpin. Apa jadinya jika frase itu tidak hanya ditiru pengucapannya saja namun telah masuk ke pemikiran dan menjadi kerangka berpikir? Mungkin saja kan jika terjadi perulangan yang berasal dari apa yang selalu didengar dan dilihat.

Dulu saja, sebelum frase ini populer, orang masih buang sampah sembarangan, merokok tak kenal tempat, sindir menyindir di media sosial, hingga perilaku mengambil hak orang lain. Sekarang, saya rasa diperparah dengan beredarnya frase ini. Orang dengan mudahnya melanggar peraturan yang tidak merugikan dirinya secara langsung namun bisa saja merugikan orang lain dengan alasan “bukan urusan saya kok”. “Memangnya kenapa kalau saya buang sampah di sungai? Toh yang banjir di hilir sana, jadi bukan urusan saya kaannn”, padahal yang tinggal di hilir-lah yang merasakan akibatnya. “Memangnya kenapa kalau saya perempuan dan merokok di tempat umum? Kalau perbuatan saya menurut anda tidak beretika, bukan urusan saya kan”. Dan kalimat-kalimat sejenis yang dilontarkan sebagai pembenaran dari sebuah tindakan melanggar aturan, norma, dan etika.

Saya jadi tidak habis pikir, apakah bapak presiden tidak menyadari betapa penting posisinya saat ini? Betapa kata-kata dan tindakan seremeh apapun akan disorot bahkan bisa ditirukan oleh bawahan dan rakyatnya. Menurut saya, sebagai seorang pemimpin harusnya lebih berhati-hati dalam berkata-kata dan bersikap. Nasehat ini sebenarnya juga berlaku umum. Apalagi bagi seorang muslim yang meyakini bahwa semua kata-kata dan perbuatannya akan dicatat dan jika itu membawa kebaikan bagi orang lain maka akan juga baik untuk dirinya dan jika sebaliknya maka dia juga turut mendapatkan dosanya.

Wallahu’alam

 

Salam hangat,

Opini : Demo Buruh Hari Ini

Beberapa stasiun televisi menyiarkan aksi demonstrasi buruh yang berlangsung hari ini (10 Des 2014). Aksi ini diikuti oleh sekitar 15 elemen massa buruh di wilayah Jabotabek. Aksi dipusatkan di bundaran Hotel Indonesia dan di jalan MH. Thamrin. Sebanyak 50 ribu buruh terjun ke lapangan untuk menyuarakan tuntutan mereka. Poin-poin yang mereka tuntut antara lain penurunan harga BBM dan penolakan Upah Minimum Provinsi (UMP). Para pengunjuk rasa melakukan long march dari bundaran HI ke Monas menuju ke Istana Presiden. Seperti biasa, untuk menjaga keamanan aparat kepolisian telah menugaskan anggota-anggotanya mengawal demo tersebut.

Komentar positif dan negatif tentang demo ini bermunculan tentang demo buruh ini. Sebagian menempatkan diri sebagai pengusaha yang tentunya akan kerepotan jika tuntutan kenaikan UMP dipenuhi. Sebagian lain menempatkan diri sebagai pengguna jalan yang merasa hak pengguna jalannya diambil oleh para demonstran. Komentar positif datang dari orang-orang yang menempatkan diri sebagai para buruh yang butuh dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Yang lain datang dari mereka yang menempatkan diri sebagai warga negara yang baik dan beranggapan bahwa menyuarakan pendapat adalah hak warga negara di era demokrasi.

Menurut saya, salah satu pemicu aksi buruh dan tuntutannya itu adalah kenaikan harga BBM per 18 Nopember 2014. Pemerintah beralasan menaikkan harga BBM dalam rangka meningkatkan anggaran sektor produktif (infrastruktur) dan mengurangi subsidi di sektor konsumtif (BBM). Meskipun banyak menuai kritik karena kenaikan BBM bertepatan dengan turunnya harga minyak dunia, namun pemerintah punya alasan jitu untuk mengelak kritik ini. Pemerintah beralasan bahwa tidak mungkin untuk menetapkan harga BBM hanya berdasarkan harga sementara minyak dunia yang bisa jadi akan naik lagi setahun ke depan. Namun, alibi pemerintah dibantah oleh Revrisond Baswir yang merupakan Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Beliau menyatakan bahwa alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah terlalu mengada-ada (http://www.tempo.co/read/news/2014/11/18/173622725/Ekonom-UGM-Alasan-Kenaikan-Harga-BBM-Mengada-ada). Meski demikian, sampai saat ini pemerintah tidak bergeming dengan keputusannya.

Mengapa kenaikan harga BBM juga turut memicu tuntutan buruh di demo hari ini? Jawabannya adalah KHL atau Kebutuhan Hidup Layak. Menurut Peraturan Menakertrans No. 13 Th. 2012, KHL adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Permen ini merevisi Permen sebelumnya yaitu Permen No. 17 Th. 2005. Ada 60 kebutuhan hidup yang termasuk dalam KHL dan dikelompokkan menjadi mamin, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Selanjutnya, KHL akan menjadi salah satu acuan dalam penentuan upah per bulannya. Harga tiap jenis kebutuhan akan disurvey oleh tim khusus dan hasilnya diserahkan ke gubernur. Survey dilakukan satu bulan sekali mulai Januari hingga September. Nah, karena harga-harga dipastikan naik pasca kenaikan harga BBM, maka dapat dipastikan KHL juga akan naik. Dan inilah yang memicu terjadinya aksi buruh tersebut.

Namun, survey KHL bukanlah satu-satunya acuan penentuan upah oleh Dewan Pengupahan. Ada beberapa faktor lain yang turut dipertimbangkan yaitu : produktivitas, pertumbuhan ekonomi, usaha yang paling tidak mampu, kondisi pasar kerja dan saran/pertimbangan dari Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kotamadya. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk menentukan besaran upah sesuai dengan tuntutan para buruh. Para buruh juga harusnya paham bahwa tidak semata-mata kenaikan KHL yang menentukan besaran UMP. Adalah tugas pemerintah untuk memutuskan dengan adil dan menentramkan baik bagi buruh, pengusaha, maupun pemerintah. See, tidak pernah mudah tugas seorang pemimpin, bukan berarti saya menyetujui rencana kenaikan gaji pemimpin daerah yaa.

Salam hangat,

Tentang Jasa Pembuatan Skripsi

Jasa pembuatan skripsi yang menawarkan layanannya secara terang-terangan baru saya dengar informasinya setahun ini. Ternyata, kalau di-googling dengan kata kunci “jasa pembuatan skripsi”, muncul alamat-alamat web yang intinya menawarkan pembuatan skripsi. Beragam judul skripsi siap untuk dikerjakan mulai dari bidang sosial hingga bidang eksak. Untuk bidang Teknik Informasi, penawarannya pun beragam, dari mulai jasa pembuatan software saja, buku laporan saja, hingga keduanya pun ada tergantung kekuatan kantong dan seberapa berani si pengguna. Lokasinya pun beragam. Calon pengguna bisa mencari jasa tersebut mulai dari di kota asalnya ataupun mau yang berasal dari luar kota. Penawar jasa pun beragam, ada yang masih berstatus mahasiswa sampai dosenpun ada. Kalau yang satu ini saya sampai terheran-heran dibuatnya. Ckckck…. si bapak, apa tak ada kerja sampingan lain yang lebih baik dan kehalalannya tidak samar-samar.

 

Hukum supply and demand mungkin berlaku di sini alias tak akan ada asap tanpa api yang artinya ada jasa seperti ini pasti karena ada peminatnya. Yang awalnya tak lazim menjadi wajar-wajar saja karena pembiasaan. Pun, mahasiswa yang awalnya tabu dengan plagiarisme, dengan alasan kebutuhan, lama-kelamaan menjadi umum dengan hal semacam ini atau jangan-jangan ikut-ikutan karena merasa ini hal yang sedang trend. Semakin banyak peminat maka tentu saja jadi peluang bagi penyedia jasa. Sama-sama butuh, itu mungkin alasannya.

 

Apakah jasa seperti ini dibolehkan? Menurut saya, status boleh-tidaknya perbuatan semacam ini bisa kita lihat dari sisi konsumen atau mahasiswa dan penyedia jasa. Dengan menggunakan jasa semacam ini, mahasiswa menjadi tidak repot-repot melakukan prosedur pengerjaan skripsi mulai dari pencarian judul, pembuatan perangkat lunak, hingga penulisan laporan. Padahal setiap tahap dr pembuatan skripsi memiliki efek positif bagi mahasiswa. Ketika seorang mahasiswa berjibaku dengan literatur untuk menemukan topik atau judul yang pas, di situlah dia menyerap banyak ilmu dan pengetahuan. Selain itu, kemampuan memahami bacaan dan penarikan kesimpulannya pun dilatih. Belum sekian banyak soft skill yang diperoleh seperti kejelian, ketelitian, inovasi, dan kreativitas. Saat pembuatan perangkat lunak pun, banyak pengalaman yang didapat. Mulai dari terasahnya kemampuan analisis kebutuhan perangkat lunak, ketrampilan merancang dan membuat program berdasarkan rancangan. Mahasiswa juga meningkat soft skillnya antara lain ketangguhan, pantang menyerah, saling berbagi, dan pengaturan waktu yang lebih baik. Terkait dengan proses pembuatan laporan, banyak juga manfaat yang diperoleh, terutama berkaitan dengan ketrampilan menulis dan berkomunikasi dengan orang lain, wa bil khusus dengan pembimbing. Ketika seorang mahasiswa menyerahkan sepenuhnya skripsinya pada orang lain, maka sebagian besar pengetahuan, ilmu, dan ketrampilan tersebut tidak diperolehnya. Maka, sesungguhnya merugilah ia. Keuntungan jangka panjang ia ganti dengan keuntungan jangka pendek.

Sekarang kita lihat dari sisi penyedia jasa. Penyedia jasa mungkin hanya berpikir bisnis alias bagaimana mendapatkan uang dengan cara mudah dan dalam waktu singkat. Atau mungkin memang ada niatan untuk membantu mahasiswa-mahasiswa yang kesulitan dengan skripsinya. Apapun itu, mari coba kita jabarkan. Penyedia jasa yang beralasan ingin membantu mahasiswa untuk segera lulus mungkin tipe-tipe orang yang berorientasi pada hasil dan bukan pada proses. Mereka sepertinya belum memahami bahwa dalam sulitnya proses pembuatan skripsi ada banyak efek positif yang akan didapatkan oleh mahasiswa. Kalaupun mereka ingin membantu, berikan bantuan yang mendidik, atau istilahnya berikan kail jangan ikan. Berikan bantuan dalam bentuk konsultasi atau kursus singkat atau apapun yang bukan merupakan solusi utuh dari persoalan si mahasiswa. Biarkan porsi lebih besar kepada mahasiswa untuk menyelesaikan tugasnya. Dan yakinlah, bahwa ini lebih baik bagi mereka.

Saya yakin hanya sedikit penyedia jasa yang murni beralasan ingin membantu mahasiswa. Sebagian besarnya beralasan selain untuk membantu mahasiswa juga untuk membantu dirinya sendiri alias mencari keuntungan. Bermacam-macam model jasa mereka sediakan yang semuanya dibayar dengan uang. Kalau yang satu ini saya hanya bisa mengelus dada karena perbuatan mereka benar-benar tidak mendidik. Satu pesan yang tersampaikan, bahwa apapun bisa diperoleh dengan instan asal punya uang. Budaya instan ini yang seharusnya mulai dikikis dr kebiasaan generasi muda saat ini, termasuk mahasiswa. Kebiasaan ini bisa saja berlanjut dan menjadi akar dari kejahatan-kejahatan besar di masa mendatang semisal korupsi. Apalagi saya pernah menemukan seorang dosen yang siap membuatkan skripsi bagi siapapun yang berminat. Na’udzubillah min dzalik, dosen macam apa ini? Dosen yang beretika seharusnya tahu bahwa hal semacam ini tidak mendidik. Bagaimana seorang dosen bisa berharap akan generasi yang lebih baik di masa mendatang, jika dia justru turut berperan membuka jalan keburukan? Bukankah dia tahu bahwa plagiarisme adalah kejahatan tertinggi di dunia akademis? Padahal dia tahu bahwa setiap laporan skripsi ada tanda tangan di atas materai yang menyatakan keaslian karya tersebut dan berarti seolah-olah dia mendukung si mahasiswa untuk menipu dunia akademis.

Secara hukum, setahu saya, memang belum ada sanksi untuk hal semacam itu. Namun, saya ingin mengajak para mahasiswa, kita terapkan sanksi sosial dan ekonomi saja. Kita embargo para penyedia jasa itu. Tidak usah mengabaikan tawarannya, jangan pakai jasanya. Sama seperti kasus McD di Bolivia yang terpaksa gulung tikar karena tidak laku. Biarkan saja mereka berkicau dan berpromosi, kalau tidak laku, mereka akan tutup sendiri. Jaga martabat dan harga diri kita sebagai seorang mahasiswa dengan menghasilkan karya orisinal dari hasil kerja keras kita sendiri. Akan menjadi kebanggaan kita di masa mendatang apabila kita mampu mewujudkan mimpi dengan tangan kita sendiri.

Salam,

Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum baru diterapkan oleh pemerintah untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikanyang telah berlaku selama kurang lebih 6 tahun. Kurikulum 2013 masuk dalam masa percobaan di Tahun 2013 dengan menjadikan beberapa sekolah menjadi sekolah percobaan. Di Tahun 2014, Kurikulum 2013 sudah diterapkan di Kelas I, II, IV, dan V sedangkan untuk SMP Kelas VII dan VIII dan SMA Kelas X dan XI. Diharapkan, pada Tahun 2015 diharapkan telah diterapkan di seluruh jenjang pendidikan. Kurikulum 2013 memiliki tiga aspek penilaian, yaitu Aspek Pengetahuan, Aspek Ketrampilan, dan Aspek Sikap dan Perilaku. Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Materi yang dirampingkan terlihat ada di Materi Bahasa Indonesia, IPS, PPKn, dsb, sedangkan materi yang ditambahkan adalah Materi Matematika. Materi pelajaran tersebut terutama Matematika disesuaikan dengan materi pembelajaran standar Internasional sehingga pemerintah berharap dapat menyeimbangkan pendidikan di dalam negeri dengan pendidikan di luar negeri.

 

Seperti biasa, sebuah program baru pasti akan menuai pro dan kontra. Di satu sisi, ada pihak yang menyambut baik penerapan kurikulum ini karena dipandang dapat memberikan luaran yang lebih baik dibanding kurikulum sebelumnya. Di sisi lain, ada pihak yang merasa bahwa belum waktunya kurikulum ini diterapkan mengingat belum meratanya kualitas dan kuantitas infrastruktur maupun tenaga pendidik. Untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul, pihak-pihak terkait telah mengadakan puluhan kegiatan sosialisasi baik kepada para guru maupun para orang tua. Acara tersebut bertujuan menampung dan menjawab segala pertanyaan yang muncul terkait berlakunya kurikulum baru ini.

 

Berdasarkan pengalaman selama setahun lebih berinteraksi dengan kurikulum 2013 ini yaitu sejak Hana masuk SD pada tahun 2013 hingga kini menginjak tahun kedua, saya bisa merasakan kesulitan yang dialami oleh para guru (atau mungkin hanya gurunya Hana?). Beberapa materi, terutama Matematika, terasa terlalu dipaksakan untuk dikuasai oleh anak-anak seumuran Hana.  Dalam waktu satu bulan, anak-anak harus menghabiskan satu tema dimana satu tema rata-rata dibagi menjadi 4 sub tema. Tiap sub-tema punya kompetensi pencapaian yang terus meningkat. Kalau bidang selain Matematika, saya tidak terlalu mempermasalahkan. Yang sedikit membuat sy berpikir keras adalah materi Matematikanya. Di semester 1 ini, anak-anak mulai dikenalkan dengan perkalian. Perkalian sederhana harus dilahap hanya dalam waktu 1 minggu. Minggu berikutnya mulai belajar menebak 60 =  berapa x berapa, dsj. Belum juga paham materi tsb, anak-anak sudah masuk ke bagian pembagian dan dilanjutkan dg UTS.

Ini saja sudah membuat sy keteteran untuk menjelaskan ke Hana konsep yang dimaksud. Hal yang bagi sy mudah saja untuk dijawab menjadi sulit ketika harus dijelaskan ke anak kelas 2 SD. Misalnya, saya dengan mudah menjawab bahwa 60 itu adalah 5 x 12 atau 20 x 3, tapi bagaimana cara mengajarkan ke Hana?

Tapi, mengeluh saja tidak cukup. Sy berpikir bahwa ini waktunya untuk saya lebih serius memikirkan bagaimana mengajari Hana dan tidak menyerah dengan keadaan. Seorang teman menjelaskan, mengajarkan pembagian dan perkalian ke anak-anak harus melalui pendekatan konsep, bukan melulu hasil (sy jadi teringat postingan yang menghebohkan dumay tentang seorang kakak yang protes kepada guru adiknya). Bahwa perkalian adalah penambahan berulang sedangkan pembagian adalah pengurangan berulang. Teman tersebut tidak menyarankan menghafal perkalian atau pembagian, tp memahamkan konsep ke anak. Dan, memang itu cara yang efektif (meskipun butuh waktu lama untuk menghitung perkalian maupun pembagian).

Jika ada teman yang menyatakan bahwa kurikulum itu ibarat kendaraan dan sebagus apapun kendaraan utk sampai ke tujuan tetaplah bergantung kepada sopir. Kalau kata saya, jika kurikulum ibarat kendaraan maka dibutuhkan sopir yang handal dan menguasai kendaraan tersebut untuk sampai ke tujuan dengan selamat.

Salam hangat,

Fastfood

Menurut Wikipedia, makanan cepat saji atau fastfood adalah istilah untuk makanan yang dapat disiapkan dan dilayankan dengan cepat. Sementara makanan apapun yang dapat disiapkan dengan segera dapat disebut makanan siap saji, biasanya istilah ini merujuk kepada makanan yang dijual di sebuah restoran atau toko dengan persiapan yang berkualitas rendah dan dilayankan kepada pelanggan dalam sebuah bentuk paket untuk dibawa pergi. Konsep fastfood ternyata telah dikenal sejak jaman lampau. Antara lain Romawi dengan roti dan minyak zaitunnya, Asia Timur dengan stand mie-nya, dan India dengan bhelpuri dan panipuri-nya.

Saat ini, fastfood identik dengan resto-resto yang menjual makanan-makanan impor seperti burger, pizza, dan ayam crispy. Banyak orang tergoda untuk ikut menikmati sajian fastfood ini. Beberapa alasannya antara lain rasanya yang lezat dan tidak perlu berlama-lama menunggu penyiapannya. Padahal, makanan-makanan jenis ini memiliki beberapa efek samping negatif misalnya menimbulkan kanker dan obesitas. Meskipun efek negatif ini telah banyak disosialisasikan, konsumen tampaknya tidak terlalu ambil pusing. Hal ini tampak dari selalu ramainya resto-resto fastfood dan makin banyaknya cabang resto jenis ini dalam kota yang sama. Gencarnya ajakan untuk mulai meninggalkan fastfood ternyata diikuti oleh makin bersemangatnya resto-resto tsb untuk memancing konsumen.

Beberapa trik yang dilakukan antara lain memposisikan resto sebagai ajang bersosialisasi sehingga menarik banyak orang untuk sekedar bertemu atau ngobrol, sengaja menyebarkan aroma-aroma mengundang di sekitar resto, meningkatkan fasilitas dan kenyamanan resto misalnya dengan menyediakan sarana drive-through dimana konsumen tidak perlu turun dari mobil untuk memesan makanan, dan menyediakan makanan dalam porsi jumbo (kalau perlu pakai ember) sehingga pelanggan tidak cepat-cepat meninggalkan resto.

Selain itu, ada beberapa fakta tentang fastfood yang kita perlu tahu, misalnya bahwa :

1. dalam satu porsi hamburger, digunakan daging dari 100 sapi yang berbeda

2. mesin soda fountain mengandung bakteri fecal dimana hal ini ditunjukkan oleh adanya jejak bakteri pada dispenser soda

3. kentang goreng lebih buruk dari burger keju karena mengandung lebih banyak lemak dan kalori

4. milkshake strawberry mengandung lebih dari 50 bahan kimia yang berbeda.

 

Nah, setelah mencermati fakta tentang fastfood (jaman sekarang), masihkah tertarik membelinya ?

 

Sumber :

http://www.okefood.com/read/2013/12/30/299/919145/9-fakta-mengejutkan-tentang-makanan-cepat-saji http://www.beritasatu.com/kesehatan/161462-terungkap-trik-restoran-cepat-saji-agar-pelanggannya-selalu-datang.html

 

Cooking for a Working Mom

Bagi sebagian suami, memasak merupakan salah satu ketrampilan wajib bagi seorang wanita terutama bila dia sudah berstatus istri. Tak terkecuali bagi seorang working mother seperti saya. Banyak kaum wanita yang setuju dengan hal ini, namun ada juga yang menolaknya. Kaum yang menolak, salah satunya sahabat saya yang juga bekerja, beranggapan bahwa memasak merupakan salah satu aktivitas yang ‘membuang-buang waktu’ mengingat saat di rumah merupakan momen yang berharga dan sayang kalau hanya dipakai untuk memasak.

Saya, sebelum menikah, termasuk yang sedikit menolak juga karena dulu saya tidak suka dan tidak pandai memasak (meskipun sekarang juga). Namun, setelah menikah anggapan saya berubah. Saya jadi suka masak. Memasak untuk keluarga, meskipun dg resep yang sederhana, memberikan kepuasan tersendiri bagi saya. Melihat anak-anak dan suami menyantap dengan lahap kreasi masakan saya membuat saya merasa diterima dan dicintai. Hahaha…. lebay ah.

Memasak bagi saya bukanlah aktivitas yang membuang-buang waktu meskipun memang banyak waktu tersita untuk menyiapkan bahan2 dan mengolahnya. Saya paling suka mencoba resep2 baru terutama menu yang direkomendasikan oleh teman. Mungkin ini memang karakter saya yang suka melakukan hal-hal baru, salah satunya mencoba resep2 baru. Salah satu poin yang turut andil dalam merubah persepsi saya adalah bahwa memasak itu ibadah juga. Ibadah karena memasak merupakan bagian dari pelayanan saya kepada keluarga yang siapa tahu bisa menjadi sarana turunnya ridho suami. Jadi, kalau diniatkan ibadah, maka waktu yang terpakai pun akan dihitung pahala, insyaAllah.

Saya tidak menyalahkan para istri yang tidak suka dan tidak mau memasak. Bisa jadi memang para suaminya tidak mewajibkan itu atau para suaminya lah yang meminta istrinya untuk fokus pada hal lain, misalnya merawat dan mendidik anak atau aktivitas sosial kemasyarakatan, atau alasan-alasan lainnya. Yang jelas, apapun aktivitasnya, selama mendukung seorang wanita menjadi istri dan ibu salihah, maka tak ada salahnya untuk dilakukan.

Bagaimana pendapat anda?

Salam,

Semangat!

Sudah seminggu ini saya mencoba fokus mengerjakan tesis. Mumpung ada kesempatan, mumpung sedang off mengajar, mumpung anak-anak masih libur, dan alasan-alasan lain. Tapi, sampai sekarang masih belum punya gambaran utuh tentang bagaimana implementasi algoritma genetika untuk optimasi data latih JST. Sudah beberapa potong kode dilihat dan dipelajari, bukannya mendapat pencerahan, malah rasanya bertumpuk-tumpuk, rasanya rasioku seperti diaduk-aduk, seperti benang ruwet yang tak keliatan ujung pangkalnya.

Ooh… jadi teringat masa-masa pengerjaan TA jaman S1 dulu. Berpusing-pusing sendiri, mau nanya pembimbing rasanya tidak mungkin, nanya teman seperjuangan juga repot karena mereka juga sedang mengalami persoalan yang sama, jadi… aah… dipikir dan dipendam sendiri. Sempat galau, sempat sedih, sempat nyaris putus asa, bahkan sempat berpikir rasanya tidak mungkin akan selesai. Namun, Allah memberi banyak kemudahan dan keajaiban hingga akhirnya selesai juga TA saya.

Pengalaman dan perasaan yang sama juga saya rasakan saat ini, di kala proses penyelesaian tesis. Satu hal yang terus-menerus kutanamkan adalah bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan, bahwa Allah punya rencana yang indah untukku, bahwa segala sesuatu ada momennya dan sudah direncanakan dengan rapi oleh-Nya, bahwa apapun pastilah ada solusinya, sehingga bisa memberikan energi tambahan ketika hati saya ingin mengalihkan perhatian dari tesis ini karena tidak tahan dengan tantangannya.

Ada ide dan saran untuk meminta bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikan tesis ini, tapi saya ingin ada kepuasan yang besar ketika tesis ini selesai oleh tangan saya sendiri (walaupun pastinya dengan banyak bantuan dari pihak lain). Selama masih ada titik terang, selama internet masih bisa diakses, selama masih ada yang bisa dibaca dan ditanya, maka saya tidak boleh menyerah. Kalau hari ini tidak ada kemajuan atau malah menemui kegagalan, yakinlah bahwa mungkin besok atau besoknya lagi akan ada langkah kecil atau besar yang akan  mendekatkan saya pada penyelesaian. Ada Allah yang Maha Tahu, yang Maha Kuasa, yang Maha Besar yang dapat membantu saya.

 

Apa salahnya bersikap subyektif ?

 

Beberapa bulan terakhir, saya menjalankan 2 peran yang saling berlawanan yaitu sebagai dosen pembimbing dan sebagai seorang mahasiswa bimbingan. Setelah menjalani kedua peran tersebut secara bergantian, saya jadi memperoleh kesimpulan bahwa wajar saja ketika seorang pembimbing menjadi sangat subyektif terhadap mahasiswa-mahasiswa bimbingannya. Subyektif disini saya artikan sebagai perlakuan yang berbeda antara mahasiswa bimbingan yang satu dengan yang lainnya.

Seorang mahasiswa yang rajin datang, mencatat dengan baik masukan dan revisi dari pembimbing, memperbaiki proses pengerjaan sesuai arahan pembing, dan memiliki etika yang baik ketika berkomunikasi dengan pembimbing tentu punya daya tarik berbeda dibandingkan mahasiswa yang menunda-nunda bimbingan, tidak tanggap dengan arahan pembimbing, dan kurang beretika saat berkomunikasi dengan pembimbing. Saya sendiri sebagai pembimbing merasakan subyektifitas itu dan ini tak dapat dihindari.
Nah, apakah hal ini salah?
Tiap orang menuai apa yang telah ditanamnya. Akan tidak adil, menurut saya, jika saya memberikan perlakuan yang sama untuk mahasiswa bimbingan yang rajin & tidak rajin. Di saat mahasiswa A benar-benar mengerjakan revisi secara maksimal dan disertai tutur kata yang sopan ketika berdialog, sedangkan mahasiswa B yang sering tidak mencatat dengan rajin masukan dari pembimbing, tidak mau belajar serius sehingga tidak juga bisa mengerjakan revisi dari dosen, apalagi sopan santunnya kurang, mana mungkin saya memberi nilai yang sama.

Justru menurut saya, itu bukan lagi subyektifitas, malah sebuah bentuk obyektifitas karena memperlakukan orang lain sebagaimana dia bersikap. Subyektivitas yang salah adalah pilih kasih karena hubungan saudara semata atau karena pernah diberi hadiah oleh si mahasiswa misalnya. Saya justru menganggap inilah yang disebut adil, memberikan seseorang sesuai dengan haknya. Saya tetap memberikan hak kepada mahasiswa yang saya anggap kurang baik yaitu mendapatkan pendampingan selama pengerjaan tugas akhir. Saya tidak akan mengurangi nilainya karena malas belajar, tapi jujur saja, saya juga tidak akan memberikan nilai maksimal untuk mahasiswa yang seperti itu.
Jadi, jika saya seorang mahasiswa bimbingan, saya akan berusaha untuk mengambil hati pembimbing dengan cara memperhatikan dengn baik arahan & masukannya, menulis laporan serapi mungkin, serta berkomunikasi santun dengan dosen pembimbing. Pembimbing kan juga manusia, rasanya bersikap subyektif itu juga sebuah hal yang manusiawi.

 

Wassalaam,

Tujuh

Belum lama rasanya saya membuat keputusan mau menikah, kemudian diperkenalkan kepada seseorang oleh teman baik saya dan selanjutnya segalanya dimudahkan oleh Allah sehingga saya pun menyandang peran baru sebagai seorang istri.

Belum lama rasanya saya menjalani setahun pertama pernikahan yang penuh liku, suka duka, dan asam garam yang justru menjadikan saya lebih ‘dewasa’ dalam kehidupan.

Tujuh tahun. Lama atau singkat? Terasa singkat ketika rumah berasa surga dan terasa lama jika sebaliknya.

Meskipun saat ini saya merasakan kebahagiaan dalam menjalani rumah tangga, saya juga tetap harus bersiap-siap menghadapi tantangan yang lebih besar nantinya. Suami dan anak adalah ujian bagi seorang istri. Apabila ingin agar hasilnya nanti baik, maka istri harus banyak belajar supaya siap menghadapi ujian.  Kuncinya adalah sabar dan ikhlas, meskipun berat tetap harus dipaksakan seperti itu. Tanpa kesabaran maka persoalan tidak akan terselesaikan dengan baik dan tanpa keikhlasan maka amal yang telah dilakukan akan sia-sia.